Tes Keperawanan di Polri! Itu Serangan Seksual, Komnas Perempuan

Jadilah Umat Terbaik Dengan Saling Menasehati
Google+
Apakah Anda Setuju 

dengan statement

itu??





Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta agar Kapolri Jenderal Sutarman segera mengeluarkan kebijakan untuk memastikan tidak ada lagi toleransi terhadap praktik tes keperawanan terhadap calon Polisi Wanita (Polwan). Tes keperawanan disebut Komnas Perempuan sebagai tindak serangan seksual yang merendahkan derajat manusia dan diskriminatif terhadap perempuan.


"Komnas Perempuan menyerukan agar Kapolri segera mengeluarkan kebijakan tertulis untuk memastikan tidak ada toleransi terhadap praktik tes keperawanan," tulis Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah dalam siaran pers yang diterima detikcom, Jumat (21/11/2014).



Tes keperawanan ini dinilai Komnas Perempuan menjadi praktik diskriminatif karena dilatari oleh prasangka berbasis gender yang merendahkan perempuan. Yuniyanti juga menyebut bawa tes tersebut tidak memiliki kemanfaatan medis untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang, melainlan lebih lekat pada prasangka mengenai moralitas perempuan dan dapat menimbulkan trauma bagi yang mengalaminya.



"Tes keperawanan adalah tindakan memeriksa kondisi selaput dara yang kerap direkatkan dengan asumsi pernah tidaknya seorang perempuan melakukan hubungan seksual. Kondisi selaput dara dengan gampang dijadikan pembeda antara 'perempuan baik-baik' dan 'perempuan nakal'. Stigma 'perempuan nakal' sangat kuat di tengah aparat dan masyarakat yang kurang memiliki pemahaman bahwa ketidakutuhan selaput dara bukan saja akibat hubungan seksual," jelas Yuniyanti dalam pernyataan Komnas Perempuan itu.



"Stigma ini semakin kuat terutama di kalangan yang kurang memiliki kepekaan dan empati kepada perempuan korban perkosaan dan eksploitasi seksual. Budaya menghakimi moralitas dan perempuan korban kekerasan seksual dalam konteks ini mengemuka dalam perbedaan pernyataan di tubuh kepolisian ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang tes keperawanan," imbuhnya.



Membiarkan praktik diskriminatif sepeti tes keperawanan ini disebut Yuniyanti sebagai pengingkaran jaminan konstitusi pada hak warga negara. 



"Sebab budaya penghakiman moralitas dapat memutus akses pekerjaan bagi perempuan korban kekerasan seksual, tes ini juga berpotensi melanggar Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 2 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tes serupa hampir tidak mungkin dilakukan terhadap laki-laki, baik karena anatomi tubuhnya maupun karena secara sosiologis simbol kesucian dibebankan kepada perempuan, bukan laki-laki," papar Yuniyanti